
Di zaman sekarang, mendapatkan pekerjaan bukan perkara mudah. Kondisi ini pun semakin menantang bagi mereka yang memiliki masalah kesehatan mental. Melansir CBC, 70-90 persen orang yang memiliki masalah kesehatan mental di Kanada menganggur.
Baca Juga: Kenapa Terlalu Banyak Rapat Tidak Baik untuk Kesehatan Mental Karyawan?
Menyadur makalah berjudul Employer and Co-worker Perspectives on Hiring and Working with People with Mental Health Conditions, orang yang memiliki masalah kesehatan mental menjadi orang yang paling tidak diminati untuk direkrut dan orang yang diutamakan untuk dipecat. Mereka juga berpeluang 7 kali lebih besar untuk menjadi pengangguran dibandingkan dengan orang yang tidak memiliki masalah kesehatan mental.
Bahkan, setelah berhasil diterima kerja, mereka berisiko tinggi mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau diberhentikan, baik secara paksa maupun sukarela.
Hambatan utama yang menghalangi mereka diterima bekerja dan mempertahankan posisinya di dunia kerja adalah stigma. Bahkan, ketika tidak ada perilaku menyimpang atau sudah sembuh, mereka tetap menghadapi diskriminasi sosial dan penolakan karena label diagnostik yang melekat pada mereka.
Berbagai penelitian menunjukkan sebagian besar pengusaha tidak mengetahui hubungan antara kesehatan mental dan kemampuan kerja. Mereka cenderung menganut stereotipe ketika membuat keputusan perekrutan.
Stereotipe ini mencakup 5 asumsi umum tentang penyakit mental terkait pekerjaan, yaitu asumsi ketidakmampuan, asumsi bahaya dan ketidakpastian, keyakinan bahwa penyakit mental bukan penyakit yang sah, keyakinan bahwa bekerja tidak baik bagi penderita penyakit mental, dan asumsi bahwa mempekerjakan orang-orang ini merupakan tindakan amal, sehingga tidak sejalan dengan kebutuhan perusahaan.
Penulis/Editor: Citra Puspitaningrum
Tag Terkait: