
Di zaman yang semakin kompetitif, orang dituntut untuk bekerja keras jika ingin sukses. Semakin keras kita bekerja, semakin besar pula peluang untuk bisa sukse. Namun, pandangan umum ini bisa mendorong pola pikir workaholic.
Banyak orang menganggap workaholic sebagai sesuatu yang positif. Nyatanya, ini merupakan gangguan psikologis dengan gejala kecanduan bekerja, ketergantungan pada pekerjaan, serta rasa bersalah, kecemasa, dan rasa malu.
Baca Juga: Kenapa Pengusaha Tidak Mudah Burnout meski Workaholic?
Berikut alasan seseorang menjadi workaholic.
1. Faktor Psikologis
Dampak psikologis berperan penting dalam kecanduan kerja. Para ahli telah menyatakan bahwa perfeksionis, narsisis, atau mereka yang rendah diri lebih rentan terhadap pengabdian obsesif untuk bekerja. Mereka juga mungkin kekurangan hobi dan kedekatan hubungan sosial.
Selain itu, banyak orang memandang workaholic sebagai sesuatu yang positif, berbeda dari kecanduan lainnya seperti kecanduan alkohol. Akibatnya, beberapa orang sengaja menenggelamkan diri pada pekerjaan hingga pada akhirnya menjadi workaholic agar dapat diterima secara sosial dan mendapatkan rasa hormat dari rekan-rekannya.
Faktor psikologis lainnya juga mencakup usaha melarikan diri dari masalah, kelelahan emosional dan upaya untuk melampiaskannya, serta salah fokus pada penilaian dari rekan dan koleganya.
2. Pengaruh Masa Kecil
Masa kanak-kanak yang penuh tekanan, tuntutan untuk memikul tanggung jawab orang dewasa di usia masih sangat muda, dan memiliki orang tua yang gila kerja bisa menyebabkan seseorang menjadi workaholic. Mereka juga mungkin pernah mengalami hubungan yang kurang dapat diandalkan dalam keluarga atau mengalami situasi di mana cinta disyaratkan pada kinerja. Pekerjaan pun jadi mekanisme kompensasi untuk membantu menyeimbangkan emosi, menggantikan perasaan tidak nyaman, dan mencapai rasa puas.
3. Dampak Pekerjaan
Workaholic bisa berakar dari hubungan emosional dan sosial mereka terhadap pekerjaannya. Orang lama-kelamaan menjadi gila kerja karena bekerja terus-menerus dan sering lembur. Sistem kerja yang tidak seimbang ini lantas menjadi bagian dari kepribadian mereka. Pengidapnya pun tak menyadari ketidakseimbangan yang tidak sehat antara kehidupan dan pekerjaan tersebut.
Penulis/Editor: Citra Puspitaningrum
Tag Terkait: