Menu
Personal Finance
Knowledge
Work Life
Relationship
Mental Health
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kenapa Bos Lebih Mementingkan Kehadiran daripada Produktivitas Karyawan?

Kenapa Bos Lebih Mementingkan Kehadiran daripada Produktivitas Karyawan? Kredit Foto: Pexels/Edmond Dantes
WE Trivia, Yogyakarta -

Pandemi telah mengajarkan kita sesuatu tentang pekerjaan: kita tidak perlu bekerja berjam-jam di kantor untuk menjadi produktif. Sebelum pandemi, data dari salah satu survei di Inggris menunjukkan bahwa 80 persen karyawan mengakui pentingnya kehadiran di tempat kerja mereka. Namun, sistem kerja jarak jauh kini telah memberi kesempatan pada bos dan karyawan untuk mengevaluasi kembali budaya kehadiran yang sudah mendarah daging.

Melansir BBC, budaya kehadiran telah lama dinilai bermasalah. Kultur ini memaksa karyawan yang sakit tetap datang ke kantor dan menulari rekan kerjanya. Orang-orang pun terpaksa bekerja berlebihan karena rekan lainnya melakukan hal yang sama. Akibatnya, tercipta lingkungan kerja yang toxic. Padahal, yang penting adalah produktivitas, bukan berapa lama karyawan terikat pada meja dan komputernya.

Baca Juga: Kenapa Meeting Kantor Bisa Memperburuk Produktivitas Kerja?

Meski dunia kerja mulai berubah, pengagungan pada kehadiran masih eksis dan berkembang, bahkan ikut merambah ke dunia digital. Selama pandemi, jumlah jam kerja di seluruh dunia malah naik, alih-alih turun. Sepajang tahun 2020, rata-rata jam kerja harian meningkat lebih dari setengah jam. Pasalnya, jika semua orang online, yang lainnya tak mau ketinggalan. Sementara itu, banyak bos hanya memperhitungkan karyawannya yang paling terlihat.

Berikut alasan bos masih mementingkan budaya kehadiran.

1. Efek Eksposur

Menurut Leigh Thompson, profesor manajemen dan organisasi di Kellogg School of Business di Northwestern University, ada 2 fenomena psikologis utama yang memicu budaya kehadiran. Salah satunya adalah "efek eksposur", yang berarti bahwa semakin seseorang terpapar pada seseorang atau sesuatu, semakin tinggi ketertarikan yang tumbuh. Jika seseorang melihat satu orang 10 kali lebih sering daripada dengan orang lainnya, ia secara alami akan lebih menyukainya.

Jadi, karyawan yang membuat dirinya lebih terlihat dapat mengambil hati orang lain secara alami hanya dengan menunjukkan keberadaannya, bahkan meski orang lain tidak menyadarinya. Alhasil, orang yang sering terlihat lebih berpeluang mendapat kenaikan gaji atau promosi.

2. Efek Halo

Efek eksposur berjalan beriringan dengan konsep psikologis yang disebut "efek halo", yaitu mengaitkan kesan positif seseorang dengan karakter mereka yang sebenarnya. Misalnya, atasan menganggap orang yang membawakannya kopi atau menanyakan kabarnya merupakan seseorang yang baik. Namun, dampak psikologisnya lantas mendorongnya untuk berpikir bahwa karyawan tersebut juga produktif. Jadi, meski memberikan secangkir kopi tidak membuktikan dirinya pekerja keras, tindakan ini dapat mengarah pada promosi atau manfaat lainnya.

3. Salah Persepsi

Meski kehadiran tidak mencerminkan produktivitas, karyawan tetap merasa perlu untuk tampil lantaran atasan tidak mau tahu atas pencapaian lebih mereka. Banyak bos hanya memandang orang yang paling sering terlihat. Jadi, ia menganggap mereka sebagai karyawan yang paling produktif.

Karena kesulitan mengukur output, para atasan cenderung berpikir bahwa karyawan terus melakukan produktivitas kerja selama mereka berada di mejanya. Para karyawan pun tahu atasan mereka sangat menghargai hal ini. Akibatnya, mereka terjebak budaya kehadiran, terutama saat melihat rekan-rekannya melakukan hal yang sama.

Penulis/Editor: Citra Puspitaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: